Kala sang fajar masih malas menyembulkan sinarnya, para penyapu sampah jalanan sudah berpacu melawan kerasnya kehidupan, mbok-mbok di pasar juga sudah siap dengan dagangannya, sopir-sopir angkotpun sudah memanasi kendaraannya agar siap melaju di jalanan.
Pada saat yang sama, para pemabuk mulai tersadar, para penjaja seks komersial mulai merapikan diri dan siap berbaur dengan masyarakat umum, dan para pencuri sedang meninjau kembali rencana yang gagal atau berhasil pada malam sebelumnya.
Fenomena inilah yang setiap hari disaksikan oleh sang fajar, ciptaan TUHAN yang tak pernah mengeluh melayani umat manusia, ia memberikan panas yang sama kepada orang yang berangkat ke kantor dan dan kepada mereka yang ada di balik teralis besi penjara. Ia juga menyembunyikan diri secara adil kepada petani yang menunggu datangnya hujan. Bayangkan saja, betapa repotnya ia mendengar keluhan ibu-lbu yang jemurannya tidak kering-kering karena ia kurang terik, sedang pada waktu yang bersamaan ia juga ingin memberi kesempatan pada sang hujan demi menanggapi doa orang-orang yang sungainya tidak mengalir lagi.
Kalau saja semua orang bisa bersikap seperti sang fajar. Rela mengorbankan dirinya dan tidak egois menuruti keinginannya, datang dan pergi pada waktu yang tepat. Sayang, masih banyak orang yang belum bisa bersyukur atas nikmat TUHAN melalui sang fajar. Kalau pagi hari hujan, marah dan kalau pagi hari panas, ribut. Mari kita menempatkan diri sebagai orang yang bijaksana layaknya sang fajar, yang memandang terus ke bawah, melihat apakah masih ada saudara-saudara kita yang memerlukan "terangnya" sang fajar ataupun "redupnya" sang fajar.
TUHAN yang Maha Baik akan memampukan kita. Amin.